Sabtu, 20 November 2010

UU BHP


May 08, 2009 By: 10afria Category: sekolah

UU BHP dan Liberalisasi Pendidikan

Meski dihadang demonstrasi besar-besaran dan kecaman luar biasa dari mahasiswa di sejumlah kota, DPR tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi undang-undang (UU). Sepuluh fraksi di DPR sepakat mengesahkan UU BHP (Suara Karya, 18/12/08).
Menurut DPR, UU BHP akan menjadi counter terhadap berbagai praktik liberalisasi pendidikan yang terjadi selama ini. Dengan UU tersebut, perguruan tinggi tidak bisa lagi membebankan biaya pendidikan kepada mahasiswa (baca: orangtua mahasiswa).Namun, di mata mahasiswa, pengesahan UU BHP justru akan menjadi hantu bagi dunia pendidikan. Sebab, beberapa pasal dalam UU tersebut seakan membiarkan negara lepas tangan terhadap tanggung jawab pendidikan bagi warga negaranya. Perguruan tinggi, khususnya negeri, harus mampu menarik dana masyarakat karena subsidi negara dikurangi. Kantong mahasiswa (baca: orangtua mahasiswa) akan diperas untuk memenuhi biaya pendidikan yang bakal melambung.

Terlepas dari pro dan kontra mengenai UU BHP, sebaiknya kita melihat praktik pendidikan yang terjadi selama ini sehingga benang merah dari kontroversi UU BHP bisa diurai. Sudah bukan rahasia lagi jika pendidikan selama ini hanya menguntungkan kelas berpunya. Masih segar dalam ingatan kita, beberapa tahun lalu sebuah surat kabar nasional memberitakan salah seorang mahasiswa dari daerah yang harus gigit jari karena tak bisa menjadi mahasiswa kedokteran di universitas favorit. Itu disebabkan dia tidak mampu membayar uang pembangunan yang mahal meski dia lolos dalam ujian seleksi. Sedangkan mahasiswa berkantong tebal bisa dengan mulus masuk perguruan tinggi melalui jalur “khusus” meski tak lolos ujian seleksi.


Kondisi di atas berimbas pada kualitas sumber daya manusia (SDM) kita. Betapa tidak, dari 5,6 juta manusia muda yang berpendidikan SLTA, ternyata hanya 1,6 juta yang bisa mengenyam pendidikan tinggi. Sementara yang lainnya harus rela berijazah SLTA hanya karena terganjal masalah mahalnya biaya pendidikan. Karena itu, tidak perlu menutup muka jika kualitas pendidikan negeri ini merosot dan menempati urutan ke-110 dari 173 negara menurut Human Development Index (HDI).

Padahal, UUD 1945 telah mengamanahkan dengan jelas bahwa negara memiliki kewajiban memberikan pendidikan yang layak bagi warga negaranya. Tapi anehnya, mengapa pemerintah mengesahkan UU BHP yang notabene bertentangan dengan semangat kesejahteraan rakyat yang tertuang dalam UUD 1945?

Pertama, pendidikan saat ini telah berada di bawah kangkangan modal. Indonesia yang kini menganut sistem ekonomi liberal terpaksa menempatkan negara sebagai penjamin bagi keberlangsungan sistem ekonomi pasar. Terobosan ini memang bermula dari pencopotan semua layanan publik dari negara, namun lama-kelamaan menjadi upaya melakukan kapitalisasi semua bentuk layanan publik. Termasuk juga di dalamnya lembaga pendidika (Eko Prasetyo, 2004: 32).
Pendidikan yang sejatinya merupakan institusi pencerahan lambat laun berubah menjadi lembaga berorientasi pasar. Dalam sebuah pasar, logika yang berlaku adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Dan, konsumen utama logika tersebut dalam dunia pendidikan tentu saja siswa dan mahasiswa. Setidaknya ada dua jalur bagaimana logika pasar itu bergerak dalam pendidikan.




Jalur pertama, intervensi materi (baik pelajaran maupun sistem pengajaran yang cocok bagi kepentingan dan kelancaran produksi). Jalur kedua, menyuplai segala kebutuhan sekolah, mulaidari buku, seragam hingga kurikulum. Dengan kata lain, sekolah tak ubahnya pasar swalayan. Nah, RUU BHP jika disahkan, nantinya akan menjadi payung hukum bagi komersialisasi pendidikan tersebut.
Kedua, pendidikan selalu berkelindan dengan politik. Politik tersebut didesakkan dalam dunia pendidikan untuk mempertahankan status quo penguasa. Sebenarnya dengan menelurkan RUU BHP, pemerintah sadar bahwa biaya pendidikan akan melambung tinggi dan yang akan terhempas tentu saja masyarakat miskin. Tapi, hanya dengan cara itulah penguasa bisa terus mempertahankan politik massa mengambang (floating mass). Menjauhkan masyarakat dominan dari gerbang pendidikan agar mudah memanipulasi kesadaran mereka.

Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk kepentingan politik. Misalnya saja saat pemilu berlangsung. Dengan massa mengambang, penguasa dan elite politik bisa dengan mudah meraup massa banyak dengan menggunakan beragam cara, mulai politik kotor hingga money politic tanpa mendapat kritik dari masyarakat. Di samping itu, politik massa mengambang, menurut Habermas, juga berfungsi sebagai kontrol, pengawasan terhadap gerak-gerik masyarakat. Dengan demikian, meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, masyarakat ibarat berada dalam rumah kaca.

Benar memang pemerintah memiliki program “mulia” terkait dengan pendidikan. Misalnya, gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA), wajib belajar 9 tahun, dan masyarakat bebas buta aksara. Tapi, dalam realitasnya, program tersebut tak pernah berhasil optimal. Bukan karena masyarakat miskin tak mau mengenyam pendidikan, melainkan karena program yang dijalankan tidak tepat sasaran dan tidak menyesuaikan dengan kultur setempat.
Akibatnya, yang terjadi, masyarakat tetap berkubang dalam kemiskinan dan kebutaan pengetahuan. Parahnya lagi, kondisi ini justru dimanfaatkan negara dan kaum kapital untuk lagi-lagi meraup keuntungan dengan menggiring massa menjadi buruh murah. Ini sungguh sebuah ironi. Padahal, di tengah krisis saat ini, masyarakat membutuhkan pendidikan dalam arti sejati. Dalam hal ini mereka perlu mendapatkan pengetahuan dan wawasan untuk terus mengembangkan diri dan menggali potensi sehingga dapat bangkit dari krisis. Dengan pendidikan yang demikian, rakyat tak lagi menjadi objek yang gampang ditindas dan dibodohi.

0 komentar:

Erick Burhaein calon S.Pd.Jas | Template by - Abdul Munir - 2008 - layout4all. Thanks to Blogger Templates